I made this widget at MyFlashFetish.com.

Sabtu, 07 Mei 2011

CINTA ALLAH DAN ROSULNYA

Semua MUSLIM pastilah akan kita dapati akan mengatakan, “aku cinta kepada Allåh”; namun hendaknya ia menjawab tantangan Allåh berikut untuk membuktikan KLAIM-nya.

Allåh berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

(yang artinya) “Katakanlah (Wahai Muhammad): “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam). niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali ‘Imraan 3:31)

Betapa indahnya ungkapan Ibnul Qayyim rahimahullaah ketika menafsirkan ayat cinta ini [Raudhatul Muhibbiin: 251. Lih. Badaa-i’ut Tafsiir: 1/498]:

“Maka Allah menjadikan ittiba’ (mengikuti) Rasul sebagai bukti kecintaan mereka kepada Allah.
Keadaan seorang hamba yang dicintai Allah lebih tinggi dari keadaannya yang mencintai Allah.

Permasalahannya bukan pada (pengakuan) cintamu kepada Allah, akan tetapi (apakah) Allah mencintaimu.
Maka ketaatan kepada yang dicintai (Allah dan Rasul) adalah bukti cinta kepada-Nya, sebagaimana diungkapkan (dalam syair) Artinya:

“Engkau bermaksiat kepada ilahi, sedangkan engkau mendakwa cinta kepada-Nya”

“Ini dalam analogi adalah kemustahilan yang diada-adakan”

“Jika saja dakwaan cintamu jujur, niscaya engkau akan mentaati-Nya”

“Sesungguhnya seorang pecinta terhadap yang dicintai, akan taat”

Semua orang, entah ia jujur dalam ketaatannya atau seorang munafik yang bermuka dua, bisa berucap:

“Saya mencintaimu Yaa Allah”

Namun apakah Allah membalas cintanya?

Inilah yang menjadi inti permasalahan…

Maka bukti kejujuran seorang hamba dalam mencintai Allah adalah ittiba’-nya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam.

Tentu saja yang dimaksud ittiba’ di sini adalah dalam segala hal, baik yang dicontohkan untuk kita kerjakan ataupun yang beliau tinggalkan (tidak kerjakan) untuk kita tinggalkan pula

Imam Ibnu Katsir rahimahullaah menafsirkan:

“Ayat ini merupakan pemutus hukum bagi setiap mereka yang mengaku cinta kepada Allah, sedangkan ia tidak berada di atas jalan Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam. (Jika demikian) maka sungguh ia seorang PENDUSTA dalam pengakuannya, sampai ia mengikuti syari’at dan agama Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam pada seluruh ucapan dan perbuatan beliau.

Sebagaimana riwayat hadits yang shahih (riwayat Muslim) dari

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam, bahwasanya beliau bersabda:

منْ عمِل عملا ليس عليه اَمرنا فهو ردّ

“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka tertolak.”
(HR. Muslim) [Tafsir Ibnu Katsir: 2/299, Cet. Daar Ibn Hazm 1419 H]

Inilah kenyataan yang merebak saat ini…
Sebagian kaum muslimin begitu mengidolakan tokoh-tokoh fiktif dalam novel dan film, hanya karena tokoh-tokoh khayal tersebut diskenariokan berhias dengan sebagian kecil dari keindahan ajaran Islam.

Sementara tokoh nyata yang mulia nan agung, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam, yang merepresentasikan keindahan ajaran Islam secara kaaaffah (sempurna), seolah terkikis dan terlupakan oleh pamor artis dan biduan.
Inikah ayat-ayat (baca: tanda-tanda) cinta kepada Allah?!

Semestinya, jika pengakuaan cinta itu jujur, niscaya mereka berbondong-bondong menuju majelis ilmu, bukan justru mengantri di loket bioskop dan outlet novel “Islami”. Karena hanya di majelis ilmulah, dibacakan ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasul-Nya. Menghadiri majelis ilmu, inilah tanda cinta yang hakiki kepada Allah dan Rasul-Nya.
Sahl bin ‘Abdillah rahimahullaah pernah berucap:

“Tanda cinta kepada Allah adalah cinta pada al-Qur-an. Tanda cinta pada al-Qur-an adalah cinta pada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam. Dan tanda cinta pada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam adalah cinta pada sunnahnya…” [lih. Tafsir al-Qurthubi: 4/63, Cet. Daarul Kitaab al-’Arabi]

Yahya bin Mu’adz rahimahullah mengatakan,
”Bukanlah orang yang jujur seorang yang mengaku mencintai Allah akan tetapi tidak menjaga aturan dan larangan-larangan-Nya.” (Jami’ al-‘Ulum, hal. 95).

Bisakah seseorang dikatakan mencintai Allah, jika ia mengerjakan sesuatu yang tidak pernah disyari’atkan dan diperintahkan oleh Nabi-Nya dalam urusan agama ini?!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Detik-Detik Menuju Syahid