I made this widget at MyFlashFetish.com.

Selasa, 31 Mei 2011

Permata Salaf, renungan penuh hikmah dari para pendahulu kita yang salih



Bukti Cinta Kepada Allah ‘Azza wa Jalla
Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman, ‘Telah berdusta orang yang mengaku mencintai-Ku, namun ketika gelapnya malam menyelimutinya dia justru terlelap dari (beribadah) kepada-Ku. Bukankah setiap pecinta menyukai menyepi berdua dengan kekasihnya? Inilah Aku, mendatangi para pecinta-Ku dengan serta-merta mengawasinya. Sesungguhnya merekapun telah berdiri di hadapan-Ku dengan menggambarkan-Ku berada di depan mata mereka. Mereka berbicara kepada-Ku dalam keadaan (membayangkan) tengah menyaksikan-Ku dengan mata kepala mereka, mereka berbincang-bincang dengan-Ku dalam keadaan hadir menghadap.Esok Aku akan menyejukkan mata-mata mereka itu di dalam surga-surga-Ku’.”(Jami’ul ‘Ulum walHikam, 2/374) Sumber: Majalah Asy Syariah no. 63/VI/1431 H/2010, rubrik: Permata Salaf.

Keutamaan Malu
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama mengatakan bahwa malu hakikatnya adalah akhlak yang mengantar seseorang untuk meninggalkan kejelekan dan menghalanginya mengurangi hak-hak orang lain.”Kami telah meriwayatkan dari al-Qasim al-Junaidi rahimahullah, ia berkata, “Malu adalah memerhatikan nikmat-nikmat (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan menganggap dirinya kurang (mensyukuri nikmat-nikmat tersebut). Dari keduanya terlahir rasa malu.”Ummu Abdillah al-Wadi’iyyah hafizhahallahu ta’ala berkata, “Malu adalah salah satu akhlak yang utama. Ia merupakan perhiasan manusia. Hilangnya rasa malu akan menyebabkan segala macam keburukan, sehingga terjadilah pertumpahan darah, dinodainya kehormatan manusia, dilakukannya perbuatan-perbuatan keji, tidak dihargainya orang-orang tua, dan campur baurnya laki-laki dengan para wanita. Para wanita keluar sembari menampakkan perhiasan dan berdandan, bepergian tanpa mahram. Hilangnya rasa malu juga akan menyebabkan al-haq hanya di dengar namun selanjutnya ditolak.”  Al-Imam al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Lima tanda celakanya seseorang adalah kerasnya hati, mata yang tidak bisa menangis, sedikitnya rasa malu, cinta dunia, dan panjang angan-angan.” (Nashihati lin Nisa’, hlm. 196-197) Sumber: Majalah Asy Syariah no. 62/VI/1431 H/2010, hal. 1, rubrik Permata Salaf.

Keutamaan Berjabat Tangan karena Allah
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan, "Berjabat tangan itu dapat menambah kecintaan."Al-Imam Mujahid rahimahullah berkata, "Telah sampai kepadaku bahwasanya apabila dua orangyang saling mencintai (karena Aklah Subhanahu wa Ta'ala) saling melihat, kemudian salah satunyatertawa kepada sahabatnya dan keduanya saling berjabat tangan, maka berguguranlah kesalahankesalahankeduanya sebagaimana gugurnya daun-daun dari pepohonan. "Seseorang berkata kepada beliau, "Sungguh ini merupakan amalan yang ringan sekali."Beliau pun menyahut, "Kamu katakan ringan?! Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:"Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka." (Al-Anfal: 63) [Jami'ul 'Ulum wal Hikam, hal. 291] Sumber: Majalah Asy Syariah, No. 60/V/1431 H/2010, rubrik Permata Salaf.

Wajib Menolak Kemungkaran Dengan Hati, Apapun Kondisinya!
Diriwayatkan dari Abu Juhaifah rahimahullah beliau mengatakan: Ali radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya sesuatu yang pertama kali diharuskan atas kalian dari urusan jihad adalah berjihad dengan tangan-tangan kalian, kemudian berjihad dengan lisan-lisan kalian, kemudian berjihad dengan hati-hati kalian. Maka barangsiapa yang hatinya tidak mengetahui yang ma’ruf dan tidak mengingkari yang mungkar, hati itu akan terbalik. Bagian atasnya menjadi bagian bawahnya.”  Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mendengar seseorang berkata: “Binasalah orang yang tidak memerintahkan yang ma’ruf dan tidak mencegah yang mungkar.” Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menimpali: “Binasalah siapa saja yang hatinya tidak dapat mengenali mana yang ma’ruf dan mana yang mungkar.”  Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menjelaskan: “Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengisyaratkanbahwa mengetahui perkara yang ma’ruf dan yang mungkar dengan hati merupakan perkara yang wajib. Tidak gugur kewajiban tersebut dari seorangpun. Maka barangsiapa yang tidak dapat mengenalinya, dia akan binasa. Adapun mengingkari kemungkaran dengan lisan dan tangan,kewajiban tersebut hanyalah disesuaikan dengan kemampuan. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu jugamengatakan: ‘Hampir-hampir saja orang yang hidup di antara kalian akan menyaksikan kemungkaran yang tidak mampu untuk diingkarinya, hanya saja Allah mengetahui dari hati orangtersebut bahwa dia sangat membenci kemungkaran itu’.”(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 258-259) Sumber: Majalah Asy Syariah no. 59/V/1431 H/2010, rubrik Permata Salaf.

Memilih Teman Dalam Menuntut Ilmu
Sepantasnya bagi seorang penuntut ilmu untuk tidak bergaul kecuali dengan orang yang bisa memberinya faedah (ilmu) atau dia (teman tersebut) bisa mengambil faedah (ilmu) darinya.  Sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Hendaknya engkau menjadi seorang alim atau orang yang belajar. Jangan menjadi jenis yangketiga, maka engkau akan binasa." (HR. Ibnu Abdilbar dalam Kitabul 'Ilmi) Bila dia hendak ikut dalam pertemanan atau diajak berteman dengan seseorang yang menyianyiakanumurnya, tidak bisa memberinya faedah (ilmu), tidak pula bisa mengambil ilmu darinya,tidak bisa menolongnya untuk urusan yang sedang ditempuhnya (yakni ilmu), maka hendaknya iadengan lemah lembut memutus jalan pertemanan tersebut dari awal, sebelum hubungan itumenjadi erat. Karena bila sesuatu telah kokoh, akan sulit menghilangkannya. Dan di antara ucapanyang beredar di kalangan fuqaha: "Mencegah lebih mudah daripada menghilangkan."Bila dia membutuhkan teman, hendaknya dia memilih orang yang shalih, beragama, bertakwa,wara', cerdas, banyak kebaikannya lagi sedikit keburukannya, baik dalam bergaul, dan tidak banyakberdebat. Bila dia lupa, teman tersebut bisa mengingatkannya. Bila dia mencoba mengingat, temanini bisa menolongnya. Bila dia sedang membutuhkan, temannya ini bisa membantu. Bila sedangbosan, temannya ini bisa menyabarkan dirinya.(Tadzkiratus Sami' wal Mutakallim fi Adabil 'Alim wal Muta'allim, karya Ibnu Jamaah Al-Kinanirahimahullah, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, hal. 83-84)Sumber: Majalah Asy Syariah, vol. V/no. 58/1431 H/2010, rubrik Permata Salaf.

Kemarahan Itu Membinasakan
'Umar bin Abdul 'Aziz rahimahullah berkata, "Telah beruntung orang yang dijaga dari hawa nafsu,kemarahan, dan ketamakan." Ja'far bin Muhammad rahimahullah berkata, "Kemarahan itu adalah kunci dari segala macamkejelekan."Dikatakan kepada Ibnul Mubarak rahimahullah, "Himpunkanlah untuk kami akhlak-akhlak baikdalam satu kata!" Beliau rahimahullah mengatakan, "Menjauhi marah." (Jami'ul 'Ulum wal Hikam,hal. 372, 379) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Kemarahan itu membinasakan. Dia mampu merusak akalsebagaimana khamr mmpu menghilangkan kesadaran." (An-Nubadz fi Adabi Thalabil 'Ilmi, hal. 155)Sumber: Majalah Asy Syariah, vol. V/no. 57/1431 H/2010, rubrik Permata Salaf.

Menghindari Banyak Makan
Di antara sebab terbesar yang membantu seseorang untuk tetap giat menuntut ilmu,memahaminya, dan tidak jemu adalah memakan sedikit dari sesuatu yang halal.Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Aku tidak pernah kenyang semenjak 16 tahun lalu.  Karena, banyak makan akan menyebabkan banyak minum, sedangkan banyak minum akan membangkitkan keinginan untuk tidur, menyebabkan kebodohan dan menurunnya kemampuan berpikir, lemahnya semangat, serta malasnya badan. Ini belum termasuk makruhnya banyak makandari tinjauan syariat dan timbulnya penyakit jasmani yang membahayakan.”Sebagaimana dikatakan dalam sebuah syair:“Sesungguhnya penyakit, kebanyakan yang engkau lihat terjadi karena makanan atau minuman.”Seandainya tidak ada keburukan dari banyak makan dan minum kecuali menyebabkan sering ketoilet, hal itu sudah cukup bagi orang yang berakal dan cerdas untuk menjaga diri darinya.Barangsiapa yang menginginkan keberhasilan dalam menuntut ilmu dan mendapatkan bekal hidupdari ilmu, namun disertai dengan banyak makan dan minum serta tidur, sungguh dia telahmengusahakan sesuatu yang mustahil menurut kebiasaan.(Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim, hal. 73-74, Al-Imam BadruddinMuhammad bin Ibrahim bin Sa’dillah bin Jamaah Al-Kinani rahimahullah, dengan beberapa perubahan)Sumber: Majalah Asy Syari’ah, No. 56/V/1431 H/2003, rubrik Permata Salaf.

Menebar Fitnah Menuai Petaka
‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:“Janganlah kalian terburu-buru dalam menyampaikan berita serta tergesa-gesa dalam menebarkanberbagai kekejian. Jangan pula menjadi orang yang tidak bisa menyimpan rahasia dan gemarmenyebarkannya. Karena sungguh, di belakang kalian menanti malapetaka yang teramat dahsyat,kesempitan hidup, kekejian, azab yang pedih, siksaan berat yang melelahkan dan melemahkan, dimana manusia menjadi sangat ketakutan dan dibuat sengsara karenanya, yang diikuti oleh fitnahyang besar, berat, dan berkepanjangan.”(Syarah Shahih Al-Adabul Mufrad, 1/421-422, Rasysyul Barad Syarh Al-Adabul Mufrad hal. 172-173) Sumber: Majalah Asy Syariah, No. 55/V/1430 H/2009, rubrik Permata Salaf.

Waktu Dan Tempat Menghafal Ilmu
SESEORANG hendaknya membagi waktu siang dan malamnya. Semestinya dia memanfaatkanumurnya, karena sisa umur seseorang tidak ternilai harganya.- Waktu terbaik untuk menghafal adalah waktu sahur.- Waktu untuk membahas/meneliti (suatu permasalahan) adalah di awal hari.- Waktu terbaik untuk menulis adalah di tengah siang.- Waktu terbaik untuk menelaah dan mengulang (pelajaran) adalah malam hari.Al-Khathib rahimahullah berkata: “Waktu terbaik untuk meng hafal adalah waktu sahur, setelah itupertengahan siang, kemudian waktu pagi.”Beliau berkata lagi: “Menghafal di malam hari lebih bermanfaat daripada di siang hari, danmenghafal ketika lapar lebih bermanfaat daripada menghafal dalam keadaan kenyang.”Beliau juga berkata: “Tempat terbaik untuk menghafal adalah di dalam kamar, dan setiap tempatyang jauh dari hal-hal yang melalaikan.”Beliau menyatakan pula: “Tidaklah terpuji untuk menghafal di hadapan tetumbuhan, yangmenghijau,atau di sungai, atau di tengah jalan, di tempat yang gaduh, karena hal-hal itu umumnyaakan menghalangi kosongnya hati.”(Diambil dari Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim, karya Al-Qadhi Ibrahimbin Abil Fadhl ibnu Jamaah Al-Kinani rahimahullah, hal. 73-73, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah) Sumber: Majalah Asy Syari’ah, No. 54/V/1430 H/2009, rubrik Permata Salaf.]

Gantungkan Cita-Citamu Setinggi Langit
Abul Faraj Ibnul Jauzi rahimahullah ketika menerangkan ucapan Abu Thayyib Al-Mutanabbimengatakan: "Aku tidak menganggap aib-aib manusia sebagai kekurangan, seperti kurangnyaorang-orang yang mampu mencapai kesempurnaan."Beliau rahimahullah berkata: "Seyogianya orang yang berakal berusah menyempurnakan dirinyasampai pada batas maksimal yang ia mampu. Seandainya digambarkan kepada anak Adam dirinyadapat naik ke atas langit, sungguh aku memandang kerelaanya tinggal di bumi ini merupakanseburuk-buruknya kekurangan. Jika saja kenabian dapat diperoleh dengan usaha yang sungguhsungguh,niscaya aku memandang orang-orang yang meninggalkan upaya dalam mendapatkannyaberada pada puncak kerendahan. Perjalanan hidup yang baik, menurut para ahli hikmah, adalahkeluarnya suatu jiwa menuju puncak kesempurnaan yang mungkin dalam keilmuan dan amalan."Beliau berkata: "Secara ringkas, tidaklah ia tinggalkan satu keutamaan pun yang mungkin untuk diaraih melainkan ia berusaha mendapatkannya. Karena sesungguhnya merasa cukup (dalam hal ini,pen.) adalah kondisi orang-orang yang rendah. Maka jadilah dirimu seorang yang kedua kakinyaberpijak di atas tanah, akan tetapi cita-citanya berada pada bintang Tsurayya.Jika engkau mampu untuk melampaui seluruh ulama dan orang-orang yang zuhud, makalakukanlah. Karena sesungguhnya mereka adalah lelaki dan engkau pun juga lelaki, dan tidaklahpemalas itu bermalas-malasan melainkan karena rendahnya keinginan dan hinanya cita-citanya.Ketahuilah, sungguh engkau berada pada medan pertempuran, sedangkan waktu itu akan berlaludengan cepat. Maka janganlah engkau kekal dalam kemalasan. Tidaklah sesuatu itu dapat terluputmelainkan karena kemalasan, dan tidaklah seseorang dapat meraih apa yang dicapainya melainkankarena kesungguhan dan tekadnya yang bulat." (Awa'iquth Thalab hal. 51-52)Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.53/V/1430 H/2009, rubrik Permata Salaf.

Jihad Dan Kesabaran
'Umar radhiyallahu 'anhu bertanya kepada para syaikh dari kalangan bani 'Abbas: "Dengan apakalian memerangi manusia?"  Mereka menjawab: "Dengan kesabaran. Tidaklah kami menjumpai suatu kaum (musuh, pen.)melainkan kami bersabar menghadapi mereka sebagaimana mereka bersabar menghadapi kami."Sebagian salaf berkata: "Masing-masing dari kami tidaklah menyukai kematian dan sakitnya lukaluka,akan tetapi kami diberi kelebihan dengan kesabaran."Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menerangkan:"Ini dalam jihad memerangi musuh yang dhahir (lahir) yakni jihad melawan orang-orang kafir.Seperti itu pula dalam jihad memerangi musuh yang batin yakni jihad melawan (kejahatan) jiwa danhawa nafsu. Maka sungguh berjihad pada keduanya (dhahir dan batin) merupakan seagung agungnya jihad. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:"Seorang mujahid adlah yang memerangi jiwanya karena Allah." (Jami'ul 'Ulum wal Hikam, hal. 516)Al-Imam Al-Mubarakfuri rahimahullah mengatakan (Tuhfatul Ahwadzi hal. 206): "Yakni memaksajiwanya yang suka memerintahkan kepada kejelekan untuk tunduk kepada apa yang mengandungkeridhaan Allah Subhanahu wa Ta'ala, dalam bentuk melaksanakan amalan ketaatan dan menjauhikemaksiatan-kemaksiatan. Jihad terhadap jiwa tersebut juga merupakan fondasi dari segala macamjihad. Karena sesungguhnya selama seseorang belum berjihad untuk menundukkan jiwanya sendiri,tidaklah mungkin baginya utk dpt berjihad memerangi musuh yg di luar jiwanya (musuh yg dhahir)" Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.52/V/1430 H/2009, rubrik Permata Salaf.

1 komentar:

Detik-Detik Menuju Syahid